Wacana
Etika dalam Bisnis
Perbincangan
tentang "etika bisnis"
di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa kontradiksi
interminis (bertentangan dalam
dirinya sendiri) atau oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih,
bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus
berani (paling tidak) "bertangan kotor".
Apalagi
ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan
hidup matinya bisnis
tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit.
Disebagian masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk,
pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada
konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan
praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Wacana tentang nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan sosial
ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi
sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max weber dalam karyanya yang
terkenal, The Religion Ethic and the Spirit Capitaism, meneliti tentang
bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi
tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika.
Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebaliknya
sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of China: Confucianism and
Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah salah satu faktor
yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau
yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and
The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber
yang terakhir.
Di sisi lain dalam
tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak
membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya
ekonomi, taruhlah dalam
hal ini di masyarakat Islam.
Tetapi studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang,
karena etika dalam
ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis), maka
temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap
penilaian-penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong
bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami adalah
bahwa, dalam
setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia
dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah
dan hablum minannas). Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan
manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi
lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang
Pencipta.
Etika Islam Tentang Bisnis
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan
filosofis yang harus dibangun dalam
pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan
lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama
dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan
berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau
beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak
ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus
menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata
orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka
pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Dalam
ekonomi Islam, bisnis dan etika
tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan
symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari
hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya
investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas
kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis
dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang
berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi
urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang
"dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan
atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat
Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu
perniagaan (bisnis)
yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah
& Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah
yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
Di
sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru
terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi
kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat
dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah
telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan
tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi,
maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi.
Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi,
dalam sebuah
pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat,
Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya
mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki
mereka (dunia)."
Logika
Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun
duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan
barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan
barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Pernyataan
Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan
etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah
pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu sendiri. Gagal
mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal
memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan
akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang
dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki
oleh sipapun dalam
melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian
dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis
kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi
prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada
norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu
mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir
semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta
menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa
diperdebatkan dalam
penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di
negara China, dalam
sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa tidak semua pengusaha
China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang
berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja
lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis,
sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya
barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya
skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih
tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan
pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku
positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat
eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral Islam yang diharapkan
dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam
Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas dengan "hukum Kodrat
tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan kecurangan
mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis, Firman-Nya :
"Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan, maka
janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja
sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi
dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang
lain dalam
sektor ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh
satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"
Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang
didasarkan pada tatanan kosmis alam. Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat
metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi
tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya
sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini),
Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak
turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi
jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan
berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang
itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang
punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak
orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang
seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih
keputusan etis dan keputusan bisnis
sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi
jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka
percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga
sedang meraih bisnis.
Sumber :
Ditulis oleh DR. Achmad Kholiq
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar